Rabu, 11 Februari 2009

Meyakini Kembali Komunitas

MEYAKINI KEMBALI KOMUNITAS

By : Setiaji Purnasatmoko



Dikepung zaman sms, on-line chatting, facebook, email dan aneka model percakapan “langit-elektronik” lainnya, menerima suratmu via jaringan kantor pos benar-benar terasa berbeda : terasa lebih personal – secarik kertas yang dapat diraba seakan kita saling bersentuhan kulit secara langsung. Kabar darimu datang menghampiri seakan kita bercakap-cakap langsung berhadap-hadapan muka. Ah ya, kita bahkan sudah tidak lagi sekedar berbasa-basi “Halo, apa kabar?” Tetapi lebih dari itu : surat balasanmu berupa karyamu – aneka bentuk seni yang bisa terkirim via pos. Surat seni! Kamu menyatakan ekspresi dalammu, senimu, wilayah yang diyakini sebagai tanpa batas, mendalam sekaligus meluas dan sukarela mengirimnya kemari.


Terima kasih sahabat, suratmu menggetarkan diri. Tiupan solidaritasmu tambah menyalakan harapan yang tengah redup. Kami mendapatkan suntikan tenaga berkat kehadiran ungkapan empatimu. Dengan itu teguhlah kembali jalinan rasa kemanusiaan kita di dunia yang semakin kerontang tapi juga serba dingin menggigit ini. Kami menikmati ekspresimu dengan sukacita yang penuh. Rasa bahagia bersemi lantaran kami jadi yakin tidak bersendiri dibekuk gundah dan letih mempertahankan kehijauan hutan kota dan kehangatan komunitas kami.


Suratmu dari jauh itu, yang meliputi tiga puluh negara, melelehkan batas-batas jarak. Adapun surat-surat dari para sahabat satu kota makin mempertautkan langkah keseharian kami masing-masing. Yang jauh dan yang dekat dalam tatapan jarak geografis, luluh mengkristal bening sebagai kehadiran intim yang bikin hati bungah. Demikianlah kita bersama menghimpun surat-surat seni ini guna saling meneguhkan keyakinan “From the World With Love”, tanpa diembel-embeli harga, tanpa pasar kapitalistik! Semata kasih.


Demikianlah saya membayangkan pertautan batin yang tercipta oleh momen SuratSeni. Menurut Deden Sambas salah satu penggagas yang juga pengusung proyek senirupa Koran, kontak-kontak surat berjalan kurang lebih sejak dua bulan terakhir. Evie Setiyadi dan Toni Antonius turun sepenuh diri meyakini dan menjalankan gagasan yang pada gilirannya membentuk jejaring sosial ini. Sanggar Olah Seni (SOS) dibawah pimpinan Syarif Hidayat dengan bersemangat turut mengeksekusi proyek ini. Lebih dari seratus seniman dari tiga puluh negeri berhasil terhimpun karyanya, melalui pengorganisasian yang ramping, sederhana, bekerja berbasiskan kesukarelaan yang riang dan keyakinan tengah memperjuangkan sesuatu yang bermakna konkrit bagi publik.


Alhasil, sebenarnyalah dalam pandangan saya, yang tengah mengalir dan tersalurkan secara alamiah ini adalah energi spontan yang terhimpun dalam sebuah kolektif cair. Dan terwujudnya sebuah perayaan spontanitas tiada lain itulah festival dalam makna sesungguh-sungguhnya. Ini sesuatu yang mustahil dicapai oleh birokrasi pemerintahan. Sebabnya ada dua alasan mendasar. Pertama birokrasi pemerintahan sudah sedari karakter dasarnya memang non-alamiah. Ia serba pesanan dan penuh beban. Kedua, birokrasi yang sudah sebagai sumber mata pencaharian bagi para pengusung dan pegawainya, akan dengan sendirinya menelurkan organisasi yang reyot dan lembam. Sialnya mereka kerap tak tahu diri. Aneka perhelatan mereka gelar dan dengan keras kepala mematut-matutnya sebagai festival. Persisnya festival kemubaziran : sudah pasti festivalnya tampil artificial, pasti pula menyedot dana milyaran guna memanggung-manggungkan seni penghiburan yang sebenarnya memiskinkan publik secara lahir dan batin.


Tapi lantas untuk apakah “From the World With Love” tersebut diseru-serukan? Demi apakah?


Pada tatapan permukaan, sebagaimana kita maklumi bersama, itu adalah upaya mempertahankan tetap adanya komunitas sanggar-sanggar seni di kawasan Babakan Siliwangi yang sekaligus juga area hutan kota. Kita paham mereka terancam oleh rongrongan egoisme pembangunan yang kapitalistik. Upaya tersebut merupakan salahsatu dari serentetan upaya panjang sebelumnya yang sudah bertumbuh sebagai upaya kewargaan yang meluas.


Langgam kapitalistik yang garang merangsek itu, ada di mana-mana. Ia menebar dari dunia terdekat hingga pelosok terjauh sekalipun. Namun tindak spontan berkarya, mengemasnya dan sengaja keluar rumah untuk mengeposkannya kemari, ini sungguh sebuah pertanda : bahwa yang meluas ada dimana-mana, tidak otomatis berarti benar. Betapapun mereka menyatakan sebagai pembangunan yang ramah lingkungan. Toh tampak dalam beragam langkah keseharian, tindak-tanduk mereka beraroma tak sedap : nyaris di setiap tahapan pelaksanaan proyeknya, mereka meminggirkan publik. Mereka bahkan mengembangkan habitus bermuka manis seakan bermartabat. Mereka berceloteh tentang kebaikan bersama, demi kesejahteraan ekonomi pengangguran, namun sebenarnya menuai keuntungan sesaat sembari mencekik masa depan : degradasi lingkungan yang diakibatkannya menebarkan ancaman kematian bagi flora-fauna dan kanak-kanak masa depan. Ini persis muslihat serigala berbulu domba.


Jika pada lapis kedalaman berikutnya, warga meneriakkan pentingnya ruang publik maka sebenarnyalah ada arus dalam yang genting dan yang tak selalu ternyatakan, tak tersuarakan. Maklum, sebagian diri kita, oleh sebab terjangkiti habitus kapitalistik, sadar maupun tidak menyuarakan langgam yang sama dan sebangun dengan mereka. Yakni suara yang berdasarkan azas fungsional ruang fisikal kota-kota yang berderap seirama ekonomi pasar kapitlistik. Maka yang terbayangkan pun sebatas pelataran terbuka, taman atau pun sejumput seni-budaya pariwisata : agar kerumunan bisa duduk santai sejenak sembari tak henti didorong-dorong untuk terus mengkonsumsi, terus berindustri sekreatif apa pun. Kemudian kerumunan terpecah-pecah kembali, dalam kesendirian masing-masing pulang ke rumah untuk lagi-lagi dihajar mimpi buruk itu : diburu atau memburu, senantiasa yang kuatlah yang menang (survival of the fittest) seakan dunia adalah medan perang tak kenal henti. „Kau dongengkan aku surga, kendati itu semata kilatan neon,“ teriak nyanyian Hannah Marcus.


Kita kerap lupa bahwa ruang publik sejati tak akan pernah bisa hadir tanpa adanya komunitas yang berdaulat menjalankan mikropolitik keseharian yang tak selalu mesti heroik. Kita ingat di tanah ini pernah ada bapak dan ibu Iso yang menanak dan mengepalkan nasi timbel berkat kayu bakar Babakan. Pak Iso telah melakukan pilihan dan menjalaninya : hidup berbasis kealamiahan yang hijau dan benci kepada lalu lintas ramai yang tak mengijinkan manusia seperti dirinya menyebrang dengan aman. Diluar Babakan bisa kita kenali kegairahan muda yang egaliter saling ber-saya-kamu tanpa beban kendati usia saling berpaut jauh. Mereka mengumpulkan sayuran, memasaknya dan membagikannya di ruang terbuka, namun mereka tidak sedang menabung wibawa moral dan tidak sedang berderma : mereka tengah menentang politik makanan yang melulu menghasilkan ketimpangan. Kiranya, festival spontanitas serupa SuratSeni pun mustahil terselenggara tanpa adanya komunitas.


Maka agar tak pulang dengan lagi-lagi jiwa yang hampa, tepatlah kiranya meyakini kembali komunitasmu. Sepanjang sejarah negara-bangsa rontok namun tidak demikian halnya dengan komunitas. Komunitas senantiasa ada kendati dipendam dan dikangkangi oleh negara, modal dan para pelayan hukumnya. Yakinilah dan rebutlah kembali aliran arus bawah yang sayup-sayup dari komunitasmu.


Setiaji Purnasatmoko

Bergerak dalam studi Ekologi social pada kolektif Hijau Merdeka

Tidak ada komentar: